Senin, 26 Desember 2011

MASALAH NIKAH


Sebab-Sebab Perempuan yang Haram Dinikah
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّنْ نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا (23)
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sesusu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisa’ ayat 23)
[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama’ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
Wanita-wanita yang haram dinikah dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Sebab nasab ada tujuh macam:
1. Ibu sampai ke atas
2. Anak Perempuan ke bawah
3. Saudara perempuan
4. Saudara perempuan dari bapak
5. Saudara perempuan dari Ibu
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
b. Sebab sesusu (tunggal suson) ada tujuh macam:
1. Ibu yang menyusui
2. Anak perempuan dari ibu yang menyusui
3. Saudara sesusuan
4. Saudara perempuan dari bapak (bapak disini adalah suami ibu yang menyusui)
5. Saudara perempuan dari ibu yang menyusui
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki tunggal susu
7. Anak perempuan dari saudara perempuan tunggal susu (keponakan). Dalam hadits dijelaskan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ.
c. Perempuan yang haram dinikahi sebab hubungan mertua, itu ada empat:
1. Istrinya bapak (ibu mertua)
2. Istrinya anak laki-laki kandung (menantu perempuan)
3. Mertua ( ibu dari istri )
4. Anak Tiri Perempuan dari istri
d. Selain dari bagian-bagian di atas ada juga perempuan yang haram dinikahi:
1. Mengawini saudara perempuan kandung istri (menghimpun)
2. Menikahi perempuan yang bersuami atau perempuan yang belum habis masa iddahnya.
Iddah
Iddah adalah masa penantian mantan istri (yang ditinggal mati atau sebab dicerai oleh suami), yang bertujuan untuk membersihkan rahim perempuan dalam waktu yang ditentukan.
Macam-macam iddah ada 2, yaitu:
1. Istri yang ditinggal mati suami, hal ini masa ‘iddahnya ada 2:
- Jika masih mengandung, masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan
- Jika tidak mengandung, massa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari
2. Istri yang diceraikan oleh suami, hal ini masa ‘iddahnya ada 3:
- Jika masih mengandung, masa iddahnya adalah sampai melahirkan
- Jika dalam keadaan haid/nifas, maka iddahnya sampai masuk pada masa haid yang ke 4
- Jika dalam keadaan suci, maka ‘iddahnya sampai masuknya masa haid yang ke 3
Hukum Menjatuhkan thalaq pada istri ketika dalam keadaan haid adalah haram, meskipun thalaqnya sah. Hal ini diterangkan dalam kitab Al-Bajuri ‘Ala Ibni Qasim, Juz II, hal. 171)
وَالطَّلاَقُ فِى الْحَيْضِ حَرَامٌ كَمَا مَرَّ فَالطَّلاَقُ الْمَأْمُوْرُ بِهِ يَكُوْنُ فِى الطُّهْرِ لِتَشَرُّعِ فِي الْعِدَّةِ حِيْنَئِذٍ بِخِلاَفِ الطَّلاَقِ فِى الْحَيْضِ فَاِنَّهَا لاَ تُشْرَعُ (الباجورى على إبن قاسم الجزء 2 ص : 171)
Urutan Wali Nikah
Akad nikah tidak sah kecuali ada wali yang menikahkannya. Urutan orang-orang yang berhak menikahkan perempuan adalah:
1. Ayah dari pihak perempuan
2. Kakek dari pihak perempuan
3. Saudara laki-laki kandung
4. Saudara laki-laki se ayah (tunggal bapak)
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se ayah (tunggal bapak)
7. Paman tunggal kandung (dari bapak)
8. Paman tunggal bapak (dari bapak)
9. Anak dari paman tunggal kandung (dari bapak)
10. Anak dari paman tunggal bapak (dari bapak)
11. Orang yang memerdekakan budak
12. Hakim (apabila wali dari nasab tidak ada).
Hal ini diterangkan dalam kitab Fathu al-Qarib hal 44. Dan keterangan yang lebih lengkap bisa dilihat dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘Ala Ibni Qasim juz 2 halaman 105.
وَ اَوْلَى الْوِلَايَةِ اَيْ اَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيْجِ اَلْأَبُ ثُمَّ الْجَدُّ اَبُو الْأَبِ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ ثُمَّ إِبْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ إِبْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ ثُمَّ الْعَمُّ ثُمَّ إِبْنُهُ عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ (فتح القريب ص 44 او حاشية الباجوري على ابن قاسم ج 2 ص 105 )
Akad Nikah bagi Tuna Wicara
Tata cara akad nikah bagi orang normal adalah sebagaimana biasanya yang telah kita ketahui bersama, namun bagaimanakah tata cara akad nikah bagi tuna wicara (orang bisu)?
a. Tidak boleh dilakukan sendiri, tetapi harus diwakilkan kepada seseorang yang mampu untuk mewakilinya
وَقِيْلَ لاَ يَنْعَقِدُ اَلنِّكاَحُ إِلاَّ بِالصِّيْغَةِ الْعَرَبِيَّةِ فَعَلَيْهِ يَصْبِرُ عِنْدَ الْعَجْزِ إِلَّى أَنْ يَتَعَلَّمَ أَوْ يُوَكِّلَ ( فتح المعين فى باب النكاح )
Dikatakan, bahwa akad itu nikah tidak sah kecuali dengan bahasa arab, maka hendaklah bersabar bagi orang yang tidak mampu sampai dia belajar bahasa arab atau mewakilkan kepada orang yang mampu. (Fathu al-Mu’in bab Nikah)
b. Cukup dengan mengunakan isyarah saja sudah cukup dan sah nikahnya. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah sebagai berikut:
(قَوْلُهُ وَيَنْعَقِدُ) اَيْ النِّكَاحُ وَقَوْلُهُ بِإِشَارَةٍ اَخْرَسَ مُفْهِمَةٌ عِبَارَةُ التُّحْفَةِ وَيَنْعَقِدُ نِكَاحُ اْلأَخْرَسَ بِإِشَارَتِهِ الَّتِى لاَ يَخْتَصُّ بِفَهْمِهَا الْفَطَنُ وَكَذَا بِكِتَابَتِهِ بِلاَ خِلاَفٍ عَلَى مَا فِي الْمَجْمُوْعِ (اعانة الطالبين الجزء: 3 ص: 277)
Akad nikah dihukumi sah dengan menggunakan isyarah yang memahamkan bagi orang bisu, itu terdapat di dalam kitab Tuhfah. Nikahnya orang bisu itu dihukumi sah dengan menggunakan isyarah yang memahamkan, tidak ditentukan hanya orang yang pandai memahami isyaroh tersebut. ”Juga sah nikahnya orang yang bisu itu dengan tulisannya, pendapat ini tidak ada khilaf, (keterangan kitab majmu’). I’anah al-Thalibin juz 3 hal 277
Menikah Lagi Bagi Perempuan yang Cukup Lama Ditinggal Pergi Suami
a. Tidak boleh karena masih dalam ikatan pernikahan.
b. Boleh, dengan syarat istri harus yakin kalau suaminya sudah meninggal dunia atau yakin kalau suami sudah menjatuhkan talaq.
c. Menurut Qoul Qodim: Istri boleh menikah lagi dengan syarat tidak ada kabar dari suami selama 4 tahun.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab: Mughni al-Muhtaj, juz III, hal. 105.
وَمَنْ غَابَ وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ ، وَفِي الْقَدِيمِ تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ، ( مغنى المحتاج ج 3 ص 105 )
Keterangan yang sama bisa dilihat dalam kitab Al-Minhaj Lii an-Nawawi bab Kitabu al-‘idadi juz 1 hal 372. dan Minhaj al-Thalibin juz 1 hal 116.
Hukum Kado Pernikahan (Amplop Buwuhan)
Di sebagian masyarakat terdapat suatu tradisi yang menarik saat menyelenggarakan walimah/resepsi pernikahan pengantin, khitanan atau ulang tahun, yang mana para tetangga atau sahabat dan handai taulan mendatangi undangan acara tersebut dengan membawa dan memberikan kado atau uang buwuhan kepada kemanten atau penyelenggara. Bagaimanakah hukum tradisi buwuhan yang terjadi di masyarakat dilihat dari aspek hukum fikih?
Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat:
a. Hadiah, kado atau “buwuhan” statusnya sebagai Hibah.
عِبَارَةُ التُّحْفَةِ وَالَّذِى يَتَّجِهُ فِي النُّقُوْطِ الْمُعْتَادِ فِي اْلاَفْرَاحِ أَنَّهُ هِبَةٌ وَلاَ أَثَرَ لِلْعُرْفِ فِيْهِ لاِضْطِرَابِهِ مَالَمْ يَقُلْ خُذْهُ مَثَلاًَ وَيَنْوِى الْقَرْضَ وَيَصْدُقُ فِي نِيَةِ ذٰلِكَ هُوَ أَوْوَارِثُهُ وَعَلَى هٰذَا يُحْمَلُ إِطْلاَقُ جَمْعٍ أَنَّهُ قَرْضٌ أَىْ حُكْمًا ثُمَّ رَأَيْتُ بَعْضَهُمْ لِمَا نَقَلَ قَوْلَ هَؤُلاَءِ. وَقَوْلُ الْبُلْقِيْنِى أَنَّهُ هِبَةٌ (إعانة الطالبين، الجزء 3، ص 51)
Adapun ungkapan yang terdapat dalam kitab tuhfah yaitu: pendapat yang dianggap kuat tentang hadiah perkawinan (kado/buwuhan) adalah sebagai hibah (pemberian), dan keumuman (urf) masyarakat yang menganggap bahwa buwuhan itu hutang tidak ada pengaruh karena kebiasaan masyarakat tidak tetap, selama dia tidak mengatakan “ambillah” dan dia berniat menghutangi. I’anah al-Thalibin juz 3 hal 51
b. Hadiah, kado atau “buwuhan” statusnya sebagai Hutang, apabila memenuhi 3 (tiga) syarat sebagai berikut:
1. Memberikannya dengan ucapan contoh ”ambillah uang ini”
2. Berniat menghutangi
3. Adanya kebiasaan atau tradisi di masyarakat untuk mengembalikan uang buwuhan.
(I’anah At-Thalibin, Juz 3 hal 52.)
وَالَّذِيْ تَحَرَّرَ مِنْ كَلاَمِ الرَّمْلِى وَابْنِ حَجَرٍ وَحَوَاشِيْهِمَا أَنَّهُ لاَرُجُوْعَ فِي النُّقُوْطِ الْمُعْتَادِ فِي اْلأَفْرَاحِ أى لاَيَرْجِعُ بِهِ مَالِكُهُ إِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ صَاحِبِ الْفَرَحِ أَوْيَدِ مَأْذُوْنِهِ إِلاَّ بِشُرُوْطٍ ثَلاَثَةٍ أَنْ َيأَتْىِ بِلَفْظِ كَخُذْ وَنَحْوِهِ وَأَنْ يَنْوِىَ الرُّجُوْعَ وَيَصْدِقُ هُوَ أَوْ وَارِثُهُ فِيْهَا وَأَنْ يَعْتَادَ الرُّجُوْعَ فِيْهِ وَإِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ الْمُزَيَّنِ وَنُحُوهُ أَوْ فِي الطَّاسَةِ الْمَعْرُوْفَةِ لاَيَرْجِعُ إِلاَّ بِشَرْطَيْنِ إِذَنْ صَاحَبُ الْفَرَحِ وَشَرْطِ الرُّجُوْعِ كَمَا حَقَّقَّه شَيْخُنَا ح ف إهـ (اعانة الطالبين ج 3 ص 52)
Kesimpulan:
Ø Status hadiah, kado atau “buwuhan” sebagai hibah apabila si pemberi hadiah, kado atau “buwuhan” tidak berniat untuk menghutangi kepada penyelenggara walimah.
Ø Status hadiah, kado atau “buwuhan” sebagai hutang, apabila si pemberi menyerahkan kepada yang di hiasi (seperti penganten) atau ditempat yang disediakan dan adanya adat atau kebiasaan uang hadiah, kado atau “buwuhan” dikembalikan lagi.
Hukum Jihaz (Cincin Tunangan dan Sejenisnya)
Dalam menjalin hubungan pra nikah saat meminang seseorang wanita di sebagian masyarakat terjadi tradisi yaitu laki-laki menyerahkan harta misalnya cincin atau sejenisnya. Yang disebut Jihaz (pengikat).
Bagaimanakah status cincin atau sejenisnya itu
a. Status harta Jihaz sebagai hadiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar